Kamis, 14 Agustus 2008

Halaman Puisi Ridwan Demmatadju


Sajak-sajak

Ridwan Demmatadju

Mengukir di Balik Pulau Lemo

Matahari perlahan merangkak dibalik bukit pulau kecil itu

Perempuan itu berpijak di atas batu kapur

Suara gemuruh gelombang menghempas di bibir pantai

Setiap kali kulihat kapal-kapal membawa tanah merah

Air laut keruh menggulung lumpur di atas karang

Siang itu,dibalik pulau kecil itu

Keulihat wajah-wajah nelayan kecil berlari

Dia membawa keranda dibalut kain hitam

Lalu memanjat cerobong asap pabrik

Dan berteriak menantang matahari

lalu terjatuh dan digilas sepuluh roda ban mobil

Yang membawa tanah milik moyangnya.

Siang di tengah terik matahari itu

Ribuan nelayan-nelayan tak lagi melaut

sambil membawa keranda

dia berjalan ke meja penguas yang sedang tertidur pulas

Sehabis makan di atas piring penderitaan nelayan-nelayan kecil itu.

Karena laut telah digadaikan dengan kepentingan

Karena tanah merah milik moyangnya telah dijadikan prasasti bisnis

Dan nelayan-nelayan kecil terus berlari mencari pusara kematian

Untuk mengubur harapan dan cinta yang lahir di tengah kemiskinan

Engkau datang menitipkan sebuah pisau belati

dibalik punggungmu,dan engkaupun berkata

"Perubahan harus dimulai dengan mengukir di balik pulau"

"Semuanya harus membuka mata dengan cinta yang tak terbalas"

Inilah harga yang tak pernah terbeli para nelayan kecil Tambea

Aku menulis sajak ini karena kulihat wajah anakku mulai bertanya tentang bumi yang tak pernah bicara dan menjanjikan masa depannya.

Watuliandu,24 Nopemeber 2008.

Melukis Wajah-Mu

Ketika malam begitu senyap

Tak ada angin yang merap pelan

Hanya suara binatang malam

Aku menunggu-Mu dilipatan tanah merah

Karena kutahu Engkau selalu ada menungguku

Suara gemercik air yang jatuh di atas batu kerikil

Wajah-wajah masa silamku datang mengendap

Dari balik pohon cengkeh yang rimbun

Dan aku tahu engkau telah kesepian di batas cakrawala

Dan langit perlahan melukiskan kesunyian yang menderamu

Aku datang dengan segumpal harapan

Setiap kali kuingat wajahmu

Hati tergores dan luka yang tak peranah terobati lagi

Disini,aku menunggu-Mu'

Begitu banyak pertanyaan yang belum engkau jawab

Tentang perjalanan yang tak menentu arahnya

Dari balik jendela rumah kayu ini

Aku memandang jauh ke atas bukit

Kutemukan jasadmu tergeletak kaku

Tak lagi bicara tentang harapan dan cinta

Semua telah terkubur bersama ranting-ranting usiamu

Aku selalu mencari-Mu

Dengan sejuta goresan hati yang terbalut kain kanvas putih

Dengan warna-warna yang terindah dalam sanubariku

Lukisan yang tak pernah selesai itu,

Menjadi kenangan terindah di jiwaku

Terpanjang kaku diberanda rumahku

Dengan warna yang mulai memudar kelam.

Watuliandu 7 Januari 2008

Aku Ingin Cinta itu

Menulis di Helai Rambutmu

Dirimu terbaring dibalut angin setiap malam

kita meneguk segelas anggur merah dengan cahaya temaran

Meninggalkan matahari malam makin jauh

Dari atas bbuk/it Tamborasi

Engkau selalu menghianati wajah perempuan

yang membaca pesan singkat di handpone itu

Dan telah tertidur pulas setelah

menikmatinya di atas kasur kumal

Dengan sajian dari laut Pantai Ria Mekongga

Nafasku kini berwarna

setiap kali kupandangi cerobong asap hitam

dari balik jendela rumah kayu di tanah yang merah itu

Air mata masih terus mencari kain putih

Yang terbenam dalam kepingan jiwa yang bergerak

Mencari keadilan yang selalu terhempas di mulutmu

Hari ini,

Aku tahu engkau telah menabur dusta

di seribu wajah petani dan nelayan

selalu tertindas dengan lidah

yang tak bertulang itu.

Watuliandu,5 Juni 2005

Mencari Anak Yang Hilang

Dulu pernah kita berjalan kaki

Menyusuri jalan-jalan kota yang sepi

Pada malam itu

wajahmu masih terbayang dalam ingatanku

ia duduk di bibir pantai Losari di balut ombak

memandang pulau impian di balik cakrawala

Tentang perjalanan anak kecil

Yang mengais serpihan air mata

Mengering di terik matahari,

setiap kali aku bertanya pada bulan purnama

Dan angin malam yang perlahan melukai hati kita

Malam itu,

Aku dengar kembali suara-Mu

Anak kecil itu terus berlari mencari-Mu

Dengan keperihan yang makin tajam

Aku juga tidak mampu membaca mozaik

Tergeletak kaku di atas pusara

Lembaran waktu makin jauh

meninggalkan kenangan yang pernah kita simpan

sambil menyanyikan lagu "Wonderful To Nigth"

kita meninggalkannya sendirian,begitu saja

tetapi wajah anak kecil itu tak pernah ku lupakan

terus berlari mencari nasibnya sendiri

Kolaka,5 Juni 2005.

1 komentar:

labadar mengatakan...

hm hm hm, heybat puisinya !